Selamat Datang

Selamat Datang Yth Para Pengunjung, "Fiat Yudisia et Pereat Mundus: Meskipun langit runtuh hukum harus tetap tegak"

Rabu, 28 Juli 2010

PERUBAHAN DELIK ADUAN MENJADI DELIK BIASA DALAM UNDANG-UNDANG HAK CIPTA (UUHC)

"PERUBAHAN DELIK ADUAN MENJADI DELIK BIASA DALAM UNDANG-UNDANG HAK CIPTA (UUHC)" [1]

Abstraction (Abstract)
Copyright is one of several types of Intellectual Property Rights, which represents the work product of human intellect, the character of property / wealth and the immaterial or intangible proprietary or personal / private, so that in a sub system of law is part of the Civil Law. However, if seen from the way the prosecution of his rights (if there is a violation), compared with other Intellectual Property rights, copyright is a common classification of offenses; so consequently, the state / government (in this case, Investigator) automatically obliged to contribute in providing protection against the Creator / Copyright Holder, which is part of Criminal Law. Therefore, the State has a responsibility to eradicate and / or recover Copyright violation offense, even without a complaint from the author / copyright holder. At first, this type of rights in conducting the prosecution, a complaint, on the basis that personal benefit more disadvantaged than the public interest. However, the fact that the offense of copyright infringement has an impact on loss of national economy (with a reduction in State revenues in the field of taxation), destructive mentality of consumers (the public), to the detriment of the Creator, and so forth; that essentially harm the public interest, then by Law No. 7 of 1987 (the Amendment Act No. 6 of 1982), the provisions of the classification / type of complaint was converted into Ordinary Glare. The law for the law (Copyright Act) continues to be amended to date in Copyright Law No. 19/2002, raids never stopped, but ironically, this one more crime increases.
Keywords: Change Act, Glare, All Rights Reserved


Abstraksi
Hak cipta adalah satu dari sekian jenis Hak Milik Intelektual (Hak Kekayaan Intelektual, Intellectual Property Rights, Geistiges Eigentum), yang merupakan karya produk intelektualitas manusia, bersifat hak milik/kekayaan immaterial atau tidak berwujud dan eksklusif atau pribadi/privat, sehingga dalam sub sistem hukum merupakan bagian dari Hukum Perdata. Namun demikian, jika dilihat dari cara penuntutan haknya (jika terjadi pelanggaran), dibandingkan dengan Hak Milik Intelektual lainnya, hak cipta merupakan klasifikasi delik biasa; sehingga konsekuensinya, negara/pemerintah (dalam hal ini Penyidik) secara otomatis wajib andil dalam memberikan perlindungan terhadap Penciptanya/Pemegang Hak Cipta, yang merupakan bagian Hukum Pidana. Oleh karena itu, Negara mempunyai tanggung jawab untuk memberantas dan/atau menanggulangi terjadinya pelanggaran delik Hak Cipta, meskipun tanpa pengaduan dari si pencipta/pemegang hak cipta. Pada awalnya, jenis hak ini dalam melakukan penuntutan, merupakan delik aduan, dengan pertimbangan bahwa kepentingan pribadi lebih dirugikan daripada kepentingan umum. Akan tetapi, karena ternyata pelanggaran delik hak cipta mempunyai dampak terhadap kerugian perekonomian Negara (dengan berkurangnya pendapatan Negara dibidang perpajakan), merusak mentalitas konsumen (masyarakat), merugikan para Pencipta, dan lain sebagainya; yang intinya merugikan kepentingan umum, maka dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 (tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982), ketentuan klasifikasi/jenis Delik Aduan ini diubah menjadi Delik Biasa. Undang-undang demi undang-undang (UUHC) terus diamandemen hingga saat ini dalam UUHC Nomor 19/2002, razia tak pernah berhenti, namun ironisnya, kejahatan yang satu ini semakin membesar.
Kata Kunci : Perubahan Undang-undang, Delik, Hak Cipta

Pendahuluan
Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) yang pesat selalu diikuti atau diiringi dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang makin canggih dan maju pula. Hal ini ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan (modus operandi) maupun alat yang digunakan. Begitu juga dengan tindak pidana hak cipta sebagai salah satu lembaga Hak Milik Intelektual (HMI) atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

Di dalam Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights/geistiges eigentum) dikenal beberapa jenis atau rezim hak tersebut, yaitu hak cipta dan hak-hak berdampingan, hak milik perindustrian seperti paten, merek, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu. Dari sekian jenis Hak Milik Intelektual tersebut, hak cipta adalah satu-satunya rezim yang masuk dalam kategori jenis delik biasa, sedangkan rezim yang lain bersifat delik aduan.

Hal tersebut diberlakukan pada tahun 1987. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 (tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta), maka ketentuan jenis delik aduan diubah menjadi delik biasa, sampai saat ini dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.

Apalagi kemajuan iptek turut memfasilitasi pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD, LD dan lain-lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang pada kenyataannya sangat sukar untuk dipantau. Celah-celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hendak merauk keuntungan besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta/si penemu dan Negara tentunya juga”[2]

Dari beberapa uraian di atas menurut Penulis, ternyata dalam kenyataan, masih banyak pelanggaran delik hak cipta, walaupun sudah diklasifikasikan sebagai Delik Biasa, sejak tahun 1987 (dengan UUHC-1987) hingga saat ini dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sebab-sebab atau alasan perubahan jenis/klasifikasi delik tersebut, serta dasar pertimbangan dikeluarkannya UUHC Nomor 7 Tahun 1987 sehingga terjadi perubahan delik tersebut, dengan memberi judul “Perubahan Delik Aduan Menjadi Delik Biasa Dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC)”

Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang penulis uraikan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat penulis rumuskan masalah pokok yang merupakan aspek pidana materiel[3] dalam hukum hak milik intelektual khususnya hak cipta yaitu sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 7 Tahun 1987 sehingga terjadi perubahan klasifikasi delik?

2. Mengapa ketentuan jenis/klasifikasi Delik Aduan di dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC Nomor 6 Tahun 1982) diubah menjadi Delik Biasa (UUHC Nomor 7 Tahun 1987)?

Metode Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis menetapkan metodologi sebagai berikut:
a) Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian kepustakaan/normatif (library research) yang berarti semua data diperoleh melalui buku-buku yang terhimpun di pustaka maupun media cetak lainnya.

Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu:
Semua peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 12 Tahun 1997 dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2. Bahan hukum sekunder
Buku-buku yang memuat pendapat-pendapat para pakar hukum mengenai Tindak Pidana Hak Cipta, perubahan deliknya, maupun tentang delik aduan yang diambil dari literatur-literatur.
3. Bahan hukum tertier, yaitu:
a. Berupa majalah, koran dan surat kabar, bahan-bahan bacaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Situs/Website di internet[4].

Sifat penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu menerangkan atau menggambarkan suatu gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang terlihat di masyarakat dan dikaitkan dengan teori-teori yang ada.

b. Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier diolah dengan cara meneliti konsep-konsep dan teori-teori atau pendapat para ahli mengenai alasan perubahan klasifikasi delik tersebut, serta berdasarkan RUU Perubahan UUHC-1982 dan dasar pertimbangan dikeluarkannya UUHC-1987, serta bagaimana pandangannya terhadap masalah hak cipta dan hukum pidana (tentang delik).

Kemudian data ini akan disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang rinci dan jelas, kemudian semua konsep dan teori-teori itu dibahas dengan cara membandingkannya (dalam bentuk perbandingan peraturan perundangan tentang hak cipta), sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dari pandangan-pandangan yang bersifat umum kepada suatu kesimpulan yang bersifat khusus yang disebut dengan kesimpulan deduktif.

Dengan demikian, kerangka acuan untuk melakukan analisa, dengan metode perbandingan hukum/perundang-undangan (Undang-Undang Hak Cipta) dan bertolak pada asas-asas hukum[5], yaitu asas umum dalam KUHP, bahwa menuntut suatu delik diserahkan pada Penuntut Umum, kecuali[6] pada delik-delik aduan.

Tinjauan Umum
Tindak Pidana Hak Cipta
Dari sekian banyak kegiatan manusia, menciptakan sesuatu yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat salah satu kegiatan yang kerap dilakukan. Hasil ciptaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk karya seni ataupun dalam bentuk buku misalnya, tidak selalu dimaksudkan untuk kepentingan pribadi penciptanya, melainkan dapat pula disajikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Bila suatu ciptaan pada waktu tertentu dikagumi dan diminati oleh sebagian besar warga masyarakat, sering terjadi karya cipta tersebut diperbanyak dan diperdagangkan pihak lain tanpa sepengetahuan penciptanya. Tentu saja perbuatan itu tidak patut dilakukan, karena hal itu termasuk dalam kategori merampas hak orang lain secara tidak sah. Selain akan merugikan penciptanya, tindakan yang lebih sering disebut dengan pembajakan itu juga akan merugikan Negara dari pemasukan pajak. Sehubungan dengan itu, untuk melindungi ciptaan seseorang serta mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meniru, memperbanyak serta memperdagangkan ciptaan orang lain. Negara kita memberlakukan ketentuan hukumnya, yang dikenal dengan Undang-undang Hak Cipta (Undang-undang No. 6 Tahun 1982 juncto Undang-undang No. 7 Tahun 1987)[7].

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Selaras dengan masalah pokok di dalam penelitian ini, maka penulis membagi hasil penelitian menjadi 2 (dua), yaitu dasar pertimbangan dikeluarkannya UUHC-1987 dan sebab-sebab atau alasan mengapa terjadi perubahan dari delik aduan menjadi delik biasa dalam UUHC-1987. Dengan demikian, sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dasar Pertimbangan Dikeluarkannya Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 7 Tahun 1987
Dasar pertimbangan dikeluarkannya UUHC-1987 adalah sebagaimana tercantum dalam diktum Menimbang, yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa pemberian perlindungan hukum terhadap Hak Cipta pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra;

2. Bahwa di tengah kegiatan pelaksanaan pembangunan nasional yang semakin meningkat, khususnya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra ternyata telah berkembang pula kegiatan pelanggaran Hak Cipta, terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan;

3. Bahwa pelanggaran Hak Cipta tersebut telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat untuk mencipta pada khususnya;

4. Bahwa untuk mengatasi dan menghentikan pelanggaran Hak Cipta dipandang perlu untuk mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

b. Alasan Perubahan Delik Aduan menjadi Delik Biasa dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 (UUHC-1987)

Alasan atau sebab-sebab perubahan delik aduan menjadi delik biasa dalam UUHC-1987 adalah antara lain sebagai berikut:

1. Bahwa delik biasa dipandang perlu untuk diberlakukan/dianut, karena perubahan dan perkembangan dalam masyarakat sepanjang mengenai perlindungan hak cipta ternyata tidak mampu diantisipasi oleh UUHC-1982 yang menganut delik aduan. Jadi, perlu diubah khususnya mengenai status klasifikasi/jenis deliknya yang dalam UUHC-1982 ditempatkan sebagai delik aduan;

2. Dengan klasifikasi delik aduan, UUHC-1982 ternyata belum dapat mengatasi pelanggaran tindak pidana hak cipta yang terjadi dan telah berkembang pula kegiatan pelanggaran tindak pidana hak cipta ini, terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan, khususnya pembajakan buku. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran hak cipta dipandang terlalu ringan dan enteng, menyebabkan tumbuh suburnya bisnis pembajakan buku hamper di seluruh Indonesia. Pelanggaran Hak Cipta tersebut telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat/ketertiban sosial pada umumnya dan minat untuk mencipta pada khususnya, serta terancamnya tatanan hukum, sosial dan ekonomi;

3. Perubahan delik tersebut juga disebabkan adanya tekanan Amerika Serikat yang dihadapi dengan kegiatan-kegiatan pembajakan dan pemalsuan besar-besaran di Indonesia menggunakan kebijakan perdagangannya sebagai suatu alat untuk menekan pejabat Indonesia untuk mengambil tindakan perbaikan, sehingga Presiden memutuskan pembentukan Keppres 34 Tahun 1986 yang akan membentuk Tim Kerja untuk membahas RUU Perubahan UUHC-1982;

4. Delik biasa diharapkan akan dapat mengatasi dampak dari kegiatan pelanggaran tersebut yang telah sedemikian besarnya terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi dan hukum. Di bidang sosial budaya, dampak yang timbul dari semakin meluasnya pembajakan begitu beraneka ragam pula;

5. Selain itu, perubahan delik tersebut juga dalam upaya untuk meningkatkan efektivitas penindakan, sehingga berfungsi untuk lebih mudah dan cepat proses penegakan hukumnya. Jadi polisi tidak lagi menunggu aduan pelanggaran, tapi bisa langsung menindak pelanggaran hak cipta yang terjadi. Dengan demikian penindakannya dapat segera dilakukan tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari Pemegang Hak Cipta yang dilanggar;

6. Akibat daripada pelanggaran hak cipta bukan saja merugikan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, tetapi juga perekonomian pada umumnya; Negara (masyarakat) mengalami kerugian akibat berkurangnya pemasukan dari pajak atau Pajak Penghasilan dan pungutan lainnya yang bersifat komersil;

7. Pelanggaran atas Hak Cipta, sebagai hak milik perorangan, lebih tepat diklasifikasi sebagai Delik Biasa seperti halnya terhadap pencurian, perampasan, penipuan. Delik Aduan, sesungguhnya lebih tepat apabila dikaitkan dengan pelanggaran terhadap kehormatan atau martabat seperti misalnya penghinaan, perkosaan, dan menjadi kurang tepat apabila diterapkan pada pelanggaran Hak Cipta yang lebih berdampak ekonomi, sosial, dan tatanan hukum pada umumnya.

Daftar Pustaka
a. Buku
Atang Ranoemihardja. Hukum Pidana Asas-Asas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat beberapa Sarjana. Bandung: Tarsito, 1984.

Achmad S. Soemadipradja. Pengertian serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana. Bandung: Armico, 1983.

-------. Beberapa Tinjauan tentang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Bandung: Armico, 1983.

Asri Muhammad Saleh. Politik Hukum Dekrit Presiden. Pekanbaru: Bina Mandiri Press, 2003.

Andi Hamzah. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

-------. Delik-delik Tersebar Diluar KUHP dengan Komentar. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.

Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.

Budi Agus Riswandi. Hukum dan Internet di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2003.

Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

CST. Kansil. Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta). Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

-------. Latihan Ujian Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, 1999.

David I. Bainbridge. Computer and the Law, atau Komputer dan Hukum, terj. Prasadi T. Susmaatmadja, Jakarta: Tanpa Penerbit, 1993.

Fandy Tjiptono, Totok Budi Santoso, Strategi Riset Lewat Internet, Yogyakarta: Andi, 2000.

Gatot Supramono. Masalah Penangkapan dan Penahanan dalam Tingkat Penyidikan Tindak Pidana Hak Cipta. Tanpa Kota: Pustaka Kartini, 1989.

Gorys Keraf. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah, 1993.

Harsono Adisumarto. Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta. Jakarta: Akademika Pressindo, 1990.

H. OK. Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

H.A.K. Moch. Anwar. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP. Bandung: Alumni, 1982.

Iman Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan, 1999.

J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary). Jakarta: PT. Gramedia, 1997.

Kompas, 2 Juli 2005.

Leden Marpaung. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik). Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Martiman Prodjohamidjojo. Laporan dan Pengaduan. Seri Pemerataan Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

-------. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 2000.

-------. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Nanda Agung Dewantara. Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan-kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat. Yogyakarta: Liberty, 1988.

Nico Ngani. Sinerama Hukum Pidana (Asas, Acara, Pidana I, Pidana II). Yogyakarta: Liberty, 1984.

Paul Goldstein. Copyright’s Highway, From Gutenberg to the Celestial Jukebox, atau Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok, terj. Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Rooseno Harjowidigdo. Mengenal Hak Cipta Indonesia Beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Satochid Kartanegara. Telah Dikupas Kedalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Belanda Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara SH dan Pendapat-pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian Satu. Tanpa Tempat Terbit: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun Terbit.

Subekti, Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cet. 31, 2001.

Sudargo Gautama. Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. Bandung: PT. Eresco, 1990.

Suyud Margono, Amir Angkasa. Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.

Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Globalisasi. Pekanbaru: UIR Press, 2003.

-------. Hukum, Hak Milik Intelektual dan Pembangunan Ekonomi. Pekanbaru: UIR Press, 2002.

-------. “Kesepakatan ASEAN 1995 dan Hak Milik Intelektual”, Jurnal Mahkamah, XIV (April 2003).

-------. “Sistem Pendaftaran dan Penegakan Hukum HKI di Bidang Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu di Indonesia”, Jurnal Mahkamah, XII (Oktober 2001).

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1985.

Tanya Jawab UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu dengan Penjelasannya. Semarang: Dahara Prize, 2003.

Taryana Soenandar. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Widyopramono. Tindak Pidana Hak Cipta Analisis dan Penyelesaiannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Zul Akrial. Antara Kejahatan “Warungan” dan Kejahatan Korporasi. Pekanbaru: UIR Press, 2004.

-------. “Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Mahkamah, XIII, (Oktober 2002), hlm. 271-282.

b. Peraturan Perundang-undangan
Semua peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta yang berkaitan dengan perubahan delik, yaitu:
UU No. 6 Tahun 1982
UU No. 7 Tahun 1987
RUU Perubahan UUHC No. 6 Tahun 1982

c. Situs/Website
http://www.hukumonline.com
http://www.google.com
http://www.kompas.com
http://www.msn.com
Admin, Perubahan Delik Aduan Menjadi Delik Biasa dalam Undang-undang Hak Cipta, http://www.fhunpad.com/unpad/detail_konsultasi.php?id=26&noid=1; diakses tanggal 12 Juli 2005.

Catatan Kaki (Footnote)
--------------------------------------------------------------------------------

[1] Oleh: Prasetyo Adhi Nugroho SH., Laboratorium Hukum “YURIDIKa” (Kerjasama LBH Wijaya Kusuma, Yayasan Bunga Nusantara dan Law Office “R.H. TAMPUBOLON SH&Associates” Pekanbaru. Karya Ilmiah ini dipublikasikan setelah diedit kembali dan diringkas dari Skripsi Penulis (2005) pada program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

[2] Syafrinaldi, “Sejarah dan Teori Perlindungan Hak Milik Intelektual”, Jurnal Mahkamah, 13: 253-254, Oktober, 2002.

[3] Sebagaimana tercantum dalam KUHP “Buku Kesatu” Aturan Umum Bab Ke-VII tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan (indiening en intrekking der klachte bij misdrijven allen op klachte vervolgbaar). Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), (Jakarta, 1985), hlm. xv.

[4] Fandy Tjiptono, Totok Budi Santoso, Strategi Riset Lewat Internet (Yogyakarta, 2000).

[5] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, 2001), hlm. 86-88.

[6] …setiap asas hukum mempunyai sifat pengecualian. Sifat pengecualian dari asas hukum itulah membuat ia menjadi supel dan fleksibel, mampu mengikuti perkembangan dan secara terus menerus menyesuaikan diri dengan tuntutan peradaban manusia. Jadi, pengecualian dalam asas hukum itu sudah merupakan sifat dari setiap asas hukum. Lihat: H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) (Jakarta, 2003), hlm. 35.

[7] Gatot Supramono, Masalah Penangkapan dan Penahanan dalam Tingkat Penyidikan Tindak Pidana Hak Cipta, (Tanpa Tempat, 1989), hlm. 5.

Senin, 19 Juli 2010

OBJEK FORMIL ILMU PENGETAHUAN HUKUM

Oleh: Prasetyo A. Nugroho SH., Laboratorium Hukum “Yuridika” (Kerjasama Lembaga Bantuan Hukum Wijaya Kusuma dengan Kantor Hukum RAY H. TAMPUBOLON SH & Rekan Pekanbaru, Riau)

Ilmu hukum lahir, terbentuk, berproses dan berkembang sama dengan ilmu-ilmu lainnya yang ada di dunia ini, seperti halnya ilmu ekonomi, fisika, matematika, biologi, kimia, ilmu pertanian, teknik, dan lain-lain ranah ilmu duniawi. Sebenarnya secara materiel, semua ilmu di dunia ini: bahkan ilmu setelah dunia (ilmu akhirat/ilmu agama), memiliki persamaan; perbedaannya hanya terletak pada objek formalnya saja.

Ketika manusia memiliki hasrat rasa ingin tahu yang sangat dalam, maka manusia akan mencari tahu dengan melakukan penelitian. Penelitian yang teratur, dilakukan dengan metodologi tertentu dan obyektif akan melahirkan jawaban hasil penelitian yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Objek formil ilmu hukum dapat diketahui dari interpretasi objek materielnya. Misalnya, objek formil pohon mangga. Pohon mangga bagi seorang ahli pertanian memiliki objek formil, bagaimana cara membuahkan/menanam pohon mangga tersebut. Apakah pupuk yang cocok digunakan untuk menyuburkan pohon mangga tersebut. Seorang ekonom, akan berpikir lain dengan objek materiel pohon mangga. Yang ada dalam pikiran seorang pakar ekonomi hanyalah, bagaimana pohon mangga tersebut dapat dijual dengan keuntungan yang besar? Berapa hasil yang akan didapat jika mangga tersebut dijual di kota Medan, dibandingkan jika dijual di kota Semarang? Seorang ahli biologi akan meneliti batang, daun, dan faktor biologis dari pohon mangga tersebut. Demikian pula dengan ahli kimia, akan lebih tertarik meneliti proses kimiawi sebatang pohon mangga. Dan lain-lain ahli akan memiliki objek formil yang berbeda.

Seorang ahli hukum, akan meneliti status kepemilikan tanah dari pohon mangga tersebut, apakah ditanam di lahan sendiri ataukah merupakan tanah sewa. Berapa tahun hukuman penjara atau denda jika terjadi pencurian pada pohon mangga tersebut. Apakah pohon mangga tersebut dimiliki secara pribadi, atau secara patungan dengan sistem perjanjian bagi hasil tertentu. Dan lain-lain sebagainya. Objek formil ilmu hukum, selalu melihat sesuatu objek materiel dari kaca mata peraturan yang berlaku (ius constitutum). ***

Jumat, 16 Juli 2010

ARSENAL HUKUM PROGRESIF


Oleh: Prof. (Emeritus) Dr. Satjipto Rahardjo SH., Gurubesar Sosiologi Hukum, Universitas Diponegoro
Abstrak
Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.
Kata Kunci: Arsenal, Hukum Progresif, Pembebasan diri.

Pendahuluan
Dalam beberapa nomor terdahulu, jurnal ini telah dibicarakan tentang gagasan hukum progresif, maka dalam risalah sekarang, akan dijelajahi kekuatan dan kemampuan apa saja yang ada dalam progresif, yang dapat disumbangkan kepada pembangunan hukum di negeri kita. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di sekitar apa yang secara konkrit dilakukan oleh hukum-hukum progresif. Berdasarkan hal-hal itulah artikel ini diberi judul “arsenal hukum progresif”.
Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan.
Mungkin baik untuk memulai risalah ini dengan membicarakan moral hukum progresif. Kandungan moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai kesinambungan antara merobohkan dan membangun (Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006). Moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.
Kandungan moral yang demikian itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad, manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak betah tinggal di situ.
Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan dengan membuat amandemen-amandemen.
Pada masa awal reformasi, di penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu, problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar undang-undang baru.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework) besar yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan-tulisan mengenai hukum progresif yang lalu (baca beberapa nomor “Jurnal Hukum Progresif”) dengan menjelajahi lebih lanjut hal apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum progresif untuk mengubah dan memperbaiki kualitas berhukum. kita. Dengan demikian tulisan ini dibuat dengan maksud untuk meneliti dan mengiventariser sekalian potensi kekuatan dan pemikiran, sebagai suatu arsenal yang dimiliki hukum progresif.

DINAMIKA HUKUM

Oleh: Prasetyo A. Nugroho SH., Laboratorium Hukum Yuridika Pekanbaru

Perubahan, revisi, amandemen, pembaruan, dan lain-lain istilah changes menjadi "makanan sehari-hari" dalam hukum, baik dalam tataran teoretis akademik ilmu hukum, lebih-lebih dalam ranah praktis hukum. Sesuatu dikatakan berubah jika terjadi perbedaan dengan sebelumnya (sebelum berubah). Hal ini dapat terjadi baik dalam hal produksi undang-undang (hukum tertulis) maupun perubahan perasaan keadilan masyarakat (hukum tidak tertulis). Begitu dinamisnya hukum, perjalanannya tidak hanya sekadar dalam hitungan hari, bulan atau tahun; bahkan dalam hitungan detik atau jam. Masalahnya, ada adagium bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku (ius constitutum). Maka sosialisasi menjadi kata kunci yang sangat urgen dalam dinamika hukum.

Kamis, 15 Juli 2010

Berikanlah saya seorang Jaksa yang cerdas dan Hakim yang jujur, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun saya akan membuat keputusan yang terbaik dan adil (Profesor Taverne)

HAKIKAT HUKUM

Hakikat hukum adalah bagaimana seharusnya hukum itu, atau cita-cita hukum. Hukum adalah seperangkat peraturan baik tertulis maupun tidak (un-written law), yang bertujuan mengatur keselarasan hidup manusia, menciptakan kedamaian dan keadilan. Hukum yang "baik" memiliki 3 (tiga) ciri utama, yaitu dapat menciptakan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian hukum akan tercapai jikalau peraturan yang ada tidak "mencla-mencle", kata orang Jawa, "esok dele, sore tempe", artinya hukum tersebut harus konsisten, tidak boleh berubah-ubah. Kalau peraturannya A, Hakim tidak diperkenankan merubah dengan B, atau mengganti dengan peraturan C, misalnya. Asas Kemanfaatan akan dapat tercapai, apabila hukum tersebut bermanfaat bagi manusia. Sesuatu peraturan yang tidak bermanfaat harus dihapus, direvisi, di-amandemen dan/atau diganti dengan peraturan yang baru sebagai ius constitutum (hukum positif yang berlaku). Apabila asas atau ciri utama kepastian hukum dan
kemanfaatan telah tercapai, hukum tersebut harus dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tiada guna hukum tersebut bermanfaat dan pasti, jika hukum tersebut tidak adil, berat sebelah, diskriminasi, membedakan antara si kaya dengan si miskin, menyamakan koruptor milyaran bahkan trilyunan Rupiah dengan mencuri 3 buah kakao/coklat, 2 buah semangka, atau sepasang sandal jepit. Lebih baik, hukum tersebut tidak memenuhi unsur-unsur kepastian hukum, tidak bermanfaat, akan tetapi dapat menciptakan keadilan. Karena hakikat hukum adalah keadilan itu sendiri. ***

HUKUM BISNIS

Era teknologi informasi dan kemajuan internet telah mengubah keadaan dan kondisi masyarakat menjadi bergerak lebih cepat dan dinamis, tidak terkecuali di bidang perdagangan. Hukum bisnis adalah seperangkat peraturan yang mengatur lalu lintas perdagangan atau bisnis. Secara historika, hukum bisnis timbul pertama kali di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda dengan diterbitkannya Wetbook van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan hukum, maka hukum bisnis "teranah" menjadi berbagai macam peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek, dan berbagai macam undang-undang lainnya yang mengatur lalu lintas perdagangan atau bisnis. ***

Rabu, 14 Juli 2010



Prasetyo Adhi Nugroho SH lahir di Rembang, 20 November, 29 tahun lalu. Menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Rembang, Jawa Tengah. "Perubahan Delik Aduan Menjadi Delik Biasa Dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC)" adalah karya ilmiahnya pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru, yang ingin dipublikasikannya pada masyarakat umum.