Selamat Datang

Selamat Datang Yth Para Pengunjung, "Fiat Yudisia et Pereat Mundus: Meskipun langit runtuh hukum harus tetap tegak"

Jumat, 16 Juli 2010

ARSENAL HUKUM PROGRESIF


Oleh: Prof. (Emeritus) Dr. Satjipto Rahardjo SH., Gurubesar Sosiologi Hukum, Universitas Diponegoro
Abstrak
Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.
Kata Kunci: Arsenal, Hukum Progresif, Pembebasan diri.

Pendahuluan
Dalam beberapa nomor terdahulu, jurnal ini telah dibicarakan tentang gagasan hukum progresif, maka dalam risalah sekarang, akan dijelajahi kekuatan dan kemampuan apa saja yang ada dalam progresif, yang dapat disumbangkan kepada pembangunan hukum di negeri kita. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di sekitar apa yang secara konkrit dilakukan oleh hukum-hukum progresif. Berdasarkan hal-hal itulah artikel ini diberi judul “arsenal hukum progresif”.
Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan.
Mungkin baik untuk memulai risalah ini dengan membicarakan moral hukum progresif. Kandungan moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai kesinambungan antara merobohkan dan membangun (Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006). Moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.
Kandungan moral yang demikian itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad, manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak betah tinggal di situ.
Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan dengan membuat amandemen-amandemen.
Pada masa awal reformasi, di penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu, problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar undang-undang baru.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework) besar yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan-tulisan mengenai hukum progresif yang lalu (baca beberapa nomor “Jurnal Hukum Progresif”) dengan menjelajahi lebih lanjut hal apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum progresif untuk mengubah dan memperbaiki kualitas berhukum. kita. Dengan demikian tulisan ini dibuat dengan maksud untuk meneliti dan mengiventariser sekalian potensi kekuatan dan pemikiran, sebagai suatu arsenal yang dimiliki hukum progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar